Rabu, 28 Januari 2009

PENGARUH POLITIK KOLONIAL TERHADAP HUKUM Islam DI INDONESIa

PENDAHULUAN

Abad 19 dan 20 merupakan masa-masa dimana puncak imperialisme terjadi. Pada pada kurun waktu itu, bangsa imperialis barat yang haus kekuasaan seperti Inggris, perancin dan lain-lainnya telah merajalela di mana-mana terutama di Asia dan Afrika, mengancam negara-negara berdaulat untuk dijadikan wilayah kekuasaan Eropa. Belanda sendiri jauh sebelum abad 19 dan 20, telah menapakkan kaki imperialisme di nusantara. Ketika pertama kali menapakkan kakinya di nusantara, Belanda mendapati kenyataan bahwa sebagian besar penduduk nusantara beragama Islam. Sistem sosial Islam telah berjalan. Lembaga-lembaga keagamaan Islam seperti Peradilan Agama dan Hukum Islam telah mapan (Well established). Raffles, Gubenur Inggris, selama memerintah di Indonesia sebagai pemerintah jajahan mengamati bahwa agama yang telah mapan di Indonesia adalah agama Islam. Hukum Islam telah diterapkan oleh para penghulu atau kiai yang dimintai pendapat dan keputusan dalam kasus-kasus perkawinan, perceraian, dan kewarisan.[1]

Pada zaman VOC, sebuah penelitian tentang hukum yang berlaku di Indonesia dilakukan oleh Freijer. Pada tahun 1747 Penelitian ini kemudian menghasilkan kitab hukum yang disebut dengan karangan Pendek (konpendium) Freijer. Di dalam kitab hukum ini termuat aturan-aturan hukum perkawinan dan kewarisan Islam.[2]

Di dalam makalah ini penulis mencoba menganalisis pergumulan antara politik kolonial Belanda dengan hukum Islam. Di sini penulis akan memfokuskan pembahasan pada hukum Islam sebagai lembaga seperti pengadilan agama dan praktek di dalam masyarakat pada waktu itu.

Pembahasan.

Pada awalnya Belanda memilih untuk bersikap netral terhadap urusan keagamaan pribumi. Para penghulu dibiarkan tetap menyelenggarakan peradilan agama. Demikian pula hukum Islam tetap berlaku untuk orang Islam. Sikap netral pemerintah kolonial dilakukan karena rasa takut dan harapan mereka. Sebagai penjajah, Belanda memiliki keinginan untuk memperkuat dan memperluas daerah kekuasaannya. Akan tetapi usaha konsolidasi kekuatan akan berpotensi mendapat perlawanan dari umat Islam. Masalah serius yang dihadapi Belanda adalah kemampuan agama Islam untuk menyadarkan pemeluknya bahwa mereka berada di bawah kekuasaan "pemerintah kafir", sementara membela tanah air adalah salah satu bagian dari jihad. Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Paderi (1821-1827), Perang Aceh (1873-1903) dan lainnya, tidak lepas dari faktor keagamaan. Hal-hal inilah yang menyebabkan ketakutan Belanda untuk mencampuri persoalan-persoalan keagamaan penduduk pribumi.[3]

Ada dua dasar cerminan dari sikap Belanda untuk tidak mencampuri persoalan agama penduduk Pribumi. Pertama, penetapan gubernur Jenderal (Bt. 19 Mei 1820 No.1) penetapan ditujukan kepada pada bupati di Jawa dan Madura. Pasal ketiga belas pasal ini berbunyi, " Bupati harus mengawasi semua permasalahan agama Islam dan harus mengusahakan agar para ulama bebas melaksanakan tugasnya menurut adat dan kebiasaan orang jawa, baik dalam perkara perkawinan, pembagian waris, dan lainnya.[4]

Pasal 13 di atas tidak menerangkan secara spesifik apa yang dimaksud “Pengawasan”. Demikian pula tidak ada definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan Bupati. Sama tidak jelasnya adalah mengapa Bupati harus mengawasi permasalahan agama. Jika dikaitkan dengan kalimat sambungannya, dapat diartikan bahwa selama itu para ulama tidak bebas melaksanakan tugasnya, karena itu maka perlu “diawasi” (diberi kelonggaran). Ada yang menafsirkan bahwa apa yang dimaksud Bupati adalah “Kepala Agama” di daerah, ada pula yang menafsirkan bahwa yang dimaksud Bupati adalah “Kepala Polisi” yang hanya mengawasi rust en orde (keamanan dan ketertiban). [5]

Kedua, Pasal 119 Undang-undang Hindia Belanda (Regeering Reglement 1854). Pasal tersebut mengatakan bahwa “Setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum agama”. Sementara pasal 13 (Bt. 19 Mei 1820 No.1) bersifat instruktif dan ditujukan kepada para Bupati. Pasal 119 ini bersifat deklaratif ditujukan kepada semua orang.[6]

Setelah dikeluarkannya Bt. 7 Desember 1835 No. 6 (Staatsblad. 1835 No. 58) mulai timbul pembatasan-pembatasan yang diterapkan pada Pengadilan Agama. Dengan peraturan tersebut, Pengadilan Agama dibatasi hanya boleh menyelesaikan suatu perkara selama tidak menyangkut persoalan harta atau pembayaran. Jika menyangkut persoalan pembayaran atau harta maka kasusnya harus diajukan ke Pengadilan Kolonial (Landraad). Pengadilan Kolonial inilah yang berhak dan berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan keputusan Pengadilan Agama dalam bentuk executoir verklaring. Demikian pula Pengadilan Agama tidak bisa melakukan penyitaan.[7]

Sebenarnya Belanda tidak konsisten dalam sikap netralnya. Ketidak konsistensian ini nampak pula pada sikap Belanda terhadap hal-hal lain selain masalah pengadilan agama. misalnya terhadap aktivitas ibadah haji, pemerintah kolonial menerbitkan berbagai aturan untuk membatasi mereka yang mau berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Para haji dicap sebagai tukang memberontak. Wujud dari pembatasan itu adalah persyaratan yang ketat dan pembebanan dalam bentuk sanksi bagi yang melanggar.

Belanda menetapkan peraturan bahwa mereka yang hendak pergi menunaikan ibadah haji, sebelum berangkat harus menunjukkan kepada Bupati (regen) uang tunai (cash) sejumlah f 500. Penunjukan uang tunai itu sebagai syarat agar Bupati mau menerbitkan surat keterangan yang menerangkan bahwa si calon haji memiliki dana yang cukup untuk pulang dan pergi serta untuk menafkahi keluarga yang ditinggalkannya. Selain itu disyaratkan bahwa sekembali dari Makkah, para haji itu harus mengikuti ujian atau ujian haji. Ujian ini sebagai bukti apakah mereka memang benar-benar telah melaksanakan ibadah haji di Makkah. Bila mereka lulus ujian, baru diperbolehkan memakai pakaian haji dan menyandang gelar haji. Dalam persoalan lain, pemerintah kolonial mengeluarkan ordonansi guru (agama), yang semuanya itu berisi berbagai pembatasan dan pengawasan.[8]

Jika dilihat, keterlibatan Belanda dalam Peradilan Agama dan hukum Islam tidak begitu substansial. Peradilan Agama masih dianggap penting dan dibiarkan berlangsung, demikian pula hukum Islam tetap berjalan pada Pengadilan Agama. Pasal 13 dari (Bt. 19 Mei 1820 No. 1), Pasal 119 Undang-undang Hindia Belanda (Regeering Reglement 1854), Bt. 7 Desember 1835 No. 6, serta surat Kandjeng Toewan Resident Engelhard yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama Rembang dan Blora yang pada akhirnya diikuti oleh semua Pengadilan Agama merupakan pengakuan juridis keberlakuan hukum Islam pada Pengadilan Agama.

Pemberian landasan juridis di atas, tentu saja didasarkan tidak semata-mata pada hasil keputusan politik pemerintah kolonial, tetapi juga pada berbagai studi etnografis yang dilakukan oleh para ahli. Bahkan hasil berbagai studi ilmiah itu mendasari landasan yuridis di atas. Pada tataran ilmu, berbagai studi tadi menghasilkan suatu teori yang disebut teori receptio in complexu. Teori ini mengatakan bahwa hukum mengikuti agama. Penetapan berbagai aturan hukum di atas didasarkan pada teori ini.[9]

Pemberlakuan teori ini oleh Salomo Keijzer (1823-1868) dan Lodewijk Christian Van den Berg (1845-1927). Meski S.Keijzer adalah seorang yang ahli dalam bidang bahasa dan kebudayaan Hindia-Belanda, namun dalam perjalanan intelektualnya dia lebih tertarik pada hukum Islam. Dia bahkan menulis sebuah buku pegangan (hand book) tentang hukum Islam dalam bahasa Belanda. Karyanya ini didasarkan pada karya al-Shirazi al-Firuzabaidi (Syafi’iyah). Dia juga menulis buku tentang hukum Islam, dengan fokus pada hukum keluarga dan kewarisan yang berlaku di Hindia Belanda dengan beberapa bentuk “penyimpangan” yang ada (pada masyarakat). Pada tahun 1853, S.Keijzer menyusun sebuah kitab hukum yang diberi nama Toehpah. Kitab yang ditulis dalam bahasa Jawa tersebut ditanggapinya sebagai “Hukum Islam Jawa”. Di dalam kitab itu terdapat 359 pasal. Dalam sebuah pengantar dalam suatu penerbitan tentang hukum administrasi dan publik yang berisi tentang hubungan konseptual antara Islam dan negara dia memunculkan sebuah perntanyaan tentang kemungkinan penerapan hukum itu pada Hindia Belanda. Dia memasuki suatu perdebatan ilmiah yang intens dengan mereka yang cenderung melihat bahwa Hindia-Belanda, khususnya Jawa, bukanlah seratus persen negara Islam. Sementara penentangnya mengajukan argumentasi, misalnya, bahwa wanita Jawa tidak memakai kerudung, dia berhasil menunjukkan bahwa itu hanyalah konsepsi yang keliru namun populer (populer misconception).[10] Adapun van den Berg menulis buku tentang asas-asas hukum Islam (mohammedaanche Recht) menurut ajaran Hanafi dan Syafi'i. pada tahun 1892 ia meluncurkan buku tentang hukum keluarga dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura dengan beberapa penyimpangannya praktik. Selain itu itu, ia juga sempat menterjemahkan kita fath al-Qarib dan minhaj at-Talibin kedalam bahasa Perancis.[11]

A.W.T. Juynboll adalah penerus S.Keijzer. Pada tahun 1683 dia mengajar hukum Agama dan Kelembagaan Tradisional Masyarakat Hindia Belanda pada Universitas Delft. Juynboll sebenarnya tidak hanya tertarik pada hukum Islam. sehubungan dengan kata-kata yang tertulis pada Bendera Aceh yang dirampas oleh pemerintah kolonial pada tahun 1840, seraya mengkritik L.W.C. Van den Berg (1874), dia memunculkan pertanyaan tentang kemungkinan pemilik bendera adalah kaum Syi’ah moderat. Juynboll juga giat mendorong untuk melakukan studi dan publikasi tentang Islam di Jawa.[12]

Pada tahun 1882, terbit tulisan yang berisi kritik terhadap Juynboll dan Van den Berg sehubungan dengan persoalan “akar” teori-teori hukum Islam (Ushul al-Fiqh). Kritik yang berasal dari Snouck itu tentang persoalan hubungan “hukum Islam yang asli” dan “penyimpangan” yang terjadi dalam praktik di Hindia Belanda. Snouck menilai adanya kesalahan fundamental titik tolak (point of departure) yang dipakai oleh Juynboll dan Van den Berg. Snouck berargumentasi bahwa di dunia Islam, prinsip-prinsip teoritis tidak pernah mendominasi setiap bidang kehidupan. Karena itu, menurutnya, salah jika membuat kesimpulan yang gegabah dengan mengatakan bahwa karena agama Islam sudah dipeluk oleh mayoritas anggota masyarakat, maka hukum Islam sudah pasti dipraktikkan oleh mereka. Tidak pernah ada penerimaan yang seratus persen terhadap hukum Islam pada negara-negara yang mengklaim dirinya Islam, lanjutnya.

Reaksi Juynboll (1883) terhadap kritik Snouck cukup positif. Dia melihat bahwa apa yang dikatakan oleh Snouck merupakan penemuan baru, dan karena itu perlu didengar. Pada tahun 1884 Snouck mulai menyerang Van den Berg (1884) dengan alasan yang sama, sehingga terjadi perdebatan dan polemik yang serius di antara keduanya. Hanya saja, tampaknya perdebatan mereka dinilai oleh para pakar lain semakin hari semakin melenceng dari tujuan-tujuan akademis sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa di belakang mereka ada motivasi-motivasi yang bukan akademis. Van der Plas (1927) tentang hal ini berkata: "Snouck’s “Battle againts the trivial and the rediculous (was) waged with one of the sharpest pens from which Dutch prose ever issued”. Kritik Snouck tidak lagi sekedar menyerang ide-ide tetapi juga pribadi Van den Berg. Van den Berg dikatakan oleh Snouck sebagai “Sarjana Hukum Islam yang palsu” yang popularitasnya dibangun atas dasar keanggotaannya dalam suatu masyarakat yang “saling memuji satu sama lain” (mutual admiration societies). Van den Berg tidak tinggal diam atas serangan-serangan Snouck. Dia menulis beberapa tulisan untuk menangkis serangan-serangan Snouck. Salah satunya adalah Hadramaut Arab (1886), yang tertulis dalam bahasa Arab, dan tampaknya memang ditujukan kepada orang-orang Arab di Hindia Belanda.[13]

Kecurigaan tentang motivasi perdebatan dan polemik tentang keberlakuan hukum Islam di Hindia Belanda tentu saja suatu keniscayaan mengingat keduanya di samping sarjana, juga pemain politik, L.W.C. Van den Berg (1845-1927) dari 1870 sampai dengan 1887 menduduki berbagai jabatan di Batavia termasuk di antaranya petugas kebahasaan dan penasehat dalam bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam. Sedang Snouck Hurgronje adalah seorang penasehat pemerintah kolonial tentang pribumi dan urusan-urusan Islam. wajar apabila dalam bertugas mereka juga tidak bisa sepenuhnya melepaskan pesan-pesan atau misi politik yang dibawanya.[14]

Polemik dan perdebatan di atas tidak serta merta menggugurkan keberlakuan berbagai keputusan hukum tentang Peradilan Agama dan hukum Islam di Indonesia. Bahkan pada 1882, lahir sebuah aturan yang secara khusus mengatur tentang raad agama. Aturan ini muncul dari ketidak jelasan tugas yang dilaksanakan oleh gubernur jenderal di satu sisi, dan Mahkamah Agung (Hooggerechtshof van Nederlandsch Indie) di sisi lain. Di Lebak, pada tahun 1863, terjadi pertikaian wewenang mengadili antara Pengadilan Agama (raad agama) dan Pengadilan Negeri (landraad) dalam perkara waris. Saat itu ada seorang yang menggadaikan tanahnya kepada orang lain. sebelum menebus kembali tanahnya, penggadai meninggal dunia. Ahli waris penggadai bersedia membayar dengan harapan agar bisa memperoleh kembali dan menggarap tanah yang digadaikan itu. Pada tanggal 7 Nopember 1865, Landraad menyatakan bahwa Pengadilan Agama tidak berhak memutuskan perkara itu (sayang tidak ada keterangan ke mana pertama kali kasus ini diajukan, ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama). Pertikaian atas kasus ini sampai pada Kejaksaan Agung dan Gubernur Jenderal. Gubernur Jenderal memutuskan bahwa yang berhak memutuskan adalah Pengadilan Negeri.

Sementara itu, Mahkamah Agung (Hooggerechtshof van Nederlandsch Indie) pada tahun 1870 mengeluarkan pernyataan bahwa dalam kasus yang semacam itu, pengadilan yang berhak mengadili adalah Pengadilan Agama, bukan Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri hanya dibolehkan untuk melakukan penyelidikan terhadap tata susunan Pengadilan Agama. Konsekuensinya, Pengadilan Negeri pada prinsipnya tidak bisa melakukan penyelidikan yang bersangkut paut dengan Pengadilan Agama.[15]

Directeur Justitie kebingungan dan panik menghadapi ini. Karena itu, mulai 27 Oktober 1881, Directeur van Justitie, sibuk merumuskan beberapa peraturan untuk Pengadilan Agama. Semua residen, Holle, L.W.C. Van den Berg, Directeur Justitie, dan Directeur Binnenlandsch Bestuur diundang untuk dimintai saran-saran. Dalam rapat ini sembilan orang menghendaki dihapuskannya Pengadilan Agama, tujuh mempertahankan, lima menentang tetapi berangsur-angsur dihapuskan. Oleh Gubernur Jenderal, hasil pertemuan itu dibicarakan dengan parlemen Raad van Nederlandsch Indie. Akhirnya laporan itu dibawa ke Menteri Koloni di Den Haag. Draft terakhir disampaikan kepada Raja Willem III untuk ditandatangani. Akhirnya, proses yang di mulai 27 Oktober 1881 itu adalah keluarnya Staatsblad 1882 No. 152 yang intinya mengakui keberadaan pengadilan agama (Priesterraden).[16]

Pemberlakuan Staatsblad di atas, tidak urung menimbulkan kecaman, utamanya dari Snouck Hurgronje. Snouck mengecam habis-habisan terutama istilah Priesterraden atau Raad agama hanyalah kreasi Belanda. Di Jawa atau Sunda, istilah ini tidak ada padanannya, dan memang tidak ada istilah khusus untuk itu. Priest berarti pendeta. Snouck berargumentasi bahwa sistem kependetaan yang menganut sistem kekuasaan hirarkis tidak dikenal dalam Islam. Snouck juga menegaskan bahwa semua orang dalam Islam sama. Karena itu, lanjut Snouck, lembaga ini asing bagi orang Jawa, dan semata-mata kreasi Belanda.[17]

Snouck juga mempersoalkan istilah raad yang berarti dewan atau majelis. Bagi Snouck, pasal 2 di atas menyalahi prinsip peradilan dalam Islam. Dalam literatur hukum Islam, kata Snouck, hakim majelis tidak dikenal, yang ada adalah hakim tunggal. Hakim tunggal dalam sistem peradilan Islam dapat langsung mengambil keputusan. Karena itu, bagi Snouck, mengintrodusir sistem juri atau panitia ke dalam Pengadilan Agama sama saja dengan tidak menerapkan sistem Peradilan Islam.

Dengan kritik itu, lagi-lagi, Snouck terlibat polemik dengan lawan lamanya, L.W.C. Van den Berg. Karena Van den Berg ini adalah salah seorang perancang Staatsblad 1882 No. 152 di atas. Merasa dituduh menjauhkan konsep-konsep hukum Islam dari orang Jawa, Van den Berg balik menuduh Snouck sebagai orang yang berpura-pura ingin membela dan memajukan Islam tapi pada dasarnya tidak.

Ini terlihat menurut Berg, dari klaim kaku dan sempit tentang Islam yang dipakai oleh Snouck. Van den Berg menyapa Snouck dengan kata-kata: “Die heer Immers neemt de houding aan van een doctrinair Muzulman en bevoor deelt als zoodaning van de Mohammedaansche leer te doen ware...”. “Tuan ini mengambil sikap seorang muslim, yang keras ajarannya; sementara menguntungkan suatu usul Undang-undang, seolah-olah demi kepentingan pemerintah memelihara kesempurnaan Islam...”.[18]

Dengan argumentasi di atas, tampaknya Snouck sengaja menampilkan hukum Islam dalam sosoknya yang kaku dan tidak bisa berubah (immutable). Memang benar bahwa dalam literatur hukum Islam, hakim majelis tidak dikenal. Namun harus pula diketahui bahwa hukum Islam bukanlah sesuatu yang final, tidak dapat menerima perubahan. Meskipun hakim majelis dalam sejarah hukum Islam tidak dikenal, bukan berarti pengadaannya dilarang, karena memang tidak ada ketentuan pelarangan dalam hal ini. Dalam hukum Islam dikenal suatu asas bahwa segala perbuatan pada prinsipnya boleh dilakukan sampai ada aturan yang melarangnya. Sesuatu yang tidak atau belum ada aturannya, belum tentu dilarang pengadaannya. Dengan demikian, sangat terbuka inovasi dalam proses peradilan dalam Islam, termasuk hakim majelis. Kenyataannya, dalam hukum Islam sendiri sangat dikenal adanya perbedaan madzab, yang sangat dipengaruhi oleh suasana sosiologis tokohnya. Sebagai seorang ahli keislaman, mustahil Snouck tidak tahu tentang prinsip dan kenyataan ini.

Pemberlakuan Staatsblad di atas, dapat dilihat sebagai titik awal dimulainya interaksi dua sistem peradilan yang berbeda, Islam dan Barat. Selain yang disebut di atas, satu perubahan penting adalah dimulainya pemisahan antara kekuasaan yudikatif dari eksekutif. Pada saat kerajaan-kerajaan Islam masih berkuasa, secara de jure, Sultan adalah ketua pengadilan. Dengan berlakunya Staatsblad itu, maka kekuasaan para Bupati atas Pengadilan Agama semakin sempit, dan sebaliknya Pengadilan Agama semakin independen. Kenyataan ini pun tidak lepas dari kritik Snouck, yang menghendaki agar Pengadilan Agama tetap diawasi, untuk mencegah terjadinya pungutan-pungutan liar seperti yang sudah terjadi selama itu.

Penting untuk dicatat bahwa ada perbedaan persepsi tentang keberlakuan hukum di Indonesia. Snouck secara umum berpendapat bahwa hukum Islam yang sudah berlaku di masyarakat sudah tidak bisa disebut hukum Islam lagi. Karena di samping terdapat penyimpangan-penyimpangan, juga itu sudah menyatu (blended) dengan kebiasaan sehari-hari. Dengan kata lain, sudah ada resepsi hukum Islam terhadap hukum Adat. Singkatnya, hukum Islam sudah menjadi hukum adat. Pandangan demikian itulah yang belakangan dikenal dengan teori resepsi (receptie theory). Hanya dengan pengakuan (pengakuan terhadap) resepsi demikian itulah maka rakyat tanah jajahan akan memiliki hukumnya sendiri yang unik. Sebaliknya, Van den Berg beserta kolega pendukungnya berpendapat bahwa, walaupun ada beberapa penyimpangan, itu tetap hukum Islam. Karena itu, yang berlaku adalah hukum Islam. Teorinya dikenal dengan receptio in complexu, hukum mengikuti agama.

Pada perkembangan selanjutnya pemikiran Snouck ditangkap oleh beberapa sarjana Belanda dengan landasan berfikir yang berbeda. Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933) misalnya, menangkap ide Snouck lebih jauh dengan secara tegas mengatakan bahwa dalam hukum kewarisan yang berlaku di kalangan rakyat adalah hukum adat, bukan hukum Islam. Ide ini didukung oleh ahli-ahli hukum adat lainnya utamanya Ter Haar dan orang-orang Indonesia yang ada di Universitas Leiden seperti Soepomo. Para pendukung hukum adat ini secara terang-terangan menafikan hukum Islam.

Dengan ketekunan para pendukung hukum Adat ini, mereka menemukan khazanah berbagai ragam adat-istiadat masyarakat Indonesia. Tidak hanya itu, jurisprudensi baru ini pada kenyataannya juga mampu meruntuhkan tradisi legalisme dan jurisprudensi analitis yang sangat hegemonik dalam pemikiran hukum saat itu. Barangkali inilah sumbangan terbesar Vollenhoven, yakni memunculkan konseptualisasi metodologis hukum yang sosiologis. Hanya saja dalam perkembangan selanjutnya, arti penting aliran hukum Adat ternyata melebihi batas-batas jurisprudensi, “karena asumsi-asumsi dasarnya membangkitkan pertanyaan tentang arah yang harus ditempuh oleh bukan saja pembaharuan hukum tetapi politik kolonial secara menyeluruh.

Secara tidak langsung, apa yang disuarakan oleh para pendukung aliran hukum adat ini menentang kodifikasi hukum Barat (Belanda) di Hindia Belanda, yang memang sudah dirintis oleh Snouck ketika masih tinggal di Hindia Belanda. Dalam pandangan mereka, kodifikasi sama dengan westernisasi[19] secara paksa yang justru akan semakin menemukan justifikasinya sekitar tahun 20-an, ketika pemberontakan terhadap Belanda semakin marak. Mereka beranggapan bahwa hanya dengan apresiasi terhadap lembaga hukum tradisional dan kebudayaan masyarakat demikian inilah, evolusi sosial dapat berjalan yang meskipun pelan tapi pasti. Persoalannya adalah bahwa apresiasi terhadap adat ini disertai dengan penolakan bahkan permusuhan terhadap Islam. Ini tidak sebanding dengan capaian politik yang akan diperoleh mengingat terlalu kuatnya Islam untuk dilawan.

Namun, betapa elegannya (secara akademis) pola pemikiran di atas, jurisprudensi baru yang akan dipromosikan oleh orang-orang Universitas Leiden itu tidak dapat berjalan mulus begitu saja. Sejumlah orang di Universitas Utrecht mempersoalkan cara-cara orang-orang Leiden memperlakukan Hindia Belanda dan penduduknya. Bagi beberapa Profesor di Utrecht penemuan dan promosi hukum adat hanyalah salah satu dari sekian banyak mekanisme untuk melestarikan kekuasaan kolonial dan sebaliknya mengupayakan sebisa mungkin agar Hindia Belanda tidak merdeka. Apa yang diinginkan orang-orang Leiden adalah otonomi dengan kekuasaan yang terbatas dalam Volksraad. Bagi aliran Leiden, menyerahkan kekuasaan kepada orang-orang Indonesia berarti kutukan dan perusakan terhadap apa yang sudah dibangun oleh orang-orang kulit putih. Dalam kata-kata Colenbrader (1924), “Native rule in Indonesia would be a curse, if it would (sic) mean destruction of what the white has built up there”. Sementara itu, Utrecht mendukung langkah-langkah berdirinya sebuah negara di Asia Tenggara.

Terlepas dari kontroversi di atas, pada kenyataannya penemuan hukum adat ditangkap oleh para politisi Belanda sebagai senjata ampuh yang dapat dipakai untuk tujuan-tujuan politik mereka. Hukum adat yang serba lokal itu dapat digunakan untuk membendung hukum Islam yang lebih universal dapat memicu tumbuhnya rasa nasionalisme, dan simbol kesamaan nasib untuk menentang penjajahan oleh pemerintah kafir. Dengan mempertahankan partikularisme, pemberontakan-pemberontakan yang bersifat lokal dapat dengan mudah dipadamkan dan status quo dapat dipertahankan. Lebih jauh, berbagai ragam partikularisme itu dapat diadu satu sama lain (devide et impera). Dengan pandangan seperti ini cukup kiranya dikatakan bahwa hukum adat ikut berperan tidak saja dalam mempertahankan, tetapi juga menghidupkan kembali tiang-tiang konservatisme dan kontrol represif pemerintah kolonial terhadap masyarakat Indonesia. Dengan demikian, kehadiran jurisprudensi baru itu tidak saja memberikan dukungan ilmiah filosofis tetapi juga turut membantu politik kolonial yang bertentangan dengan apa yang pernah dirintis oleh Snouck, yakni terjadinya asimilasi kebudayaan antara orang Indonesia dengan orang Belanda, yang salah satu manifestasinya adalah kodifikasi hukum Barat.

Persoalan universalitas Islam menjadi ketakutan tersendiri bagi Belanda. Karena itu wajar apabila mereka umumnya menaruh rasa simpati yang sangat tipis terhadap Islam dibandingkan terhadap golongan adat. Demikian pula mereka lebih suka menyokong golongan adat ini. Golongan pendukung hukum Adat pun tampaknya tidak semata-mata politis, tetapi memiliki dukungan filosofis. Mereka ini kerapkali berlindung di balik aliran jurisprudensi kontinental. Aliran ini hanya melihat dan mengidealkan bahwa hukum haruslah tumbuh dari masyarakat secara alamiah. Karena itu, setiap pertumbuhan yang “tidak alamiah” harus ditentang. Hukum Islam, menurut mereka, tidak tumbuh secara alamiah dari masyarakat Indonesia. Mereka ini, seperti kebiasaan para ethnografer, lebih suka mempertahankan dan bahkan menghidupkan kembali apa yang mereka namakan “tradisi”.

Sebagai pemimpin aliran hukum baru yang memperoleh dukungan politik pemerintah Cornelis Van Vollenhoven tidak henti-hentinya mengkritik kebijakan-kebijakan masa lalu, mempersoalkan keberlakuan hukum Islam. Misalnya, dia menyerang pasal 75 dan 109 RR Stb. 1885: 2. Karena kuatnya pengaruh aliran hukum Adat ini pada tahun 1922 dibentuk satu Commissie Voor Priesterraad. Komisi ini terdiri dari 3 orang Bupati, 5 penghulu, 2 dari kalangan Pergerakan Islam, dan 1 ahli hukum adat Belanda, yaitu Prof. Ter Haar. Tugas komisi ini adalah membicarakan masa depan Pengadilan Agama. Hasil komisi berupa dikeluarkannya Staatsblaad tahun 1931 No. 53. Isi Staatsblad itu bagian I adalah perubahan nama dari “Priesterraad” menjadi “Penghoeloegerecht”. Wewenang Penghoeloegerecht dalam masalah waris dicabut, dan dibatasi hanya pada masalah perkawinan saja. Selain itu ada perubahan dalam hukum acara serta pembentukan Mahkamah Islam Tinggi (Hooger Islamiische Zaken). Pada bagian II memuat tentang campur tangan Landraad dalam soal peradilan harta bagi orang-orang Indonesia asli, dan pada bagian III memuat pembentukan Balai Harta Peninggalan bagi orang Indonesia asli.

Pada kenyataannya, Staatsblad itu tidak dapat berjalan karena persoalan keterbatasan anggaran. Ter Haar mengecam penundaan ini seraya mengajukan usulan penyederhanaan kompetensi Pengadilan Agama dengan alasan bahwa: (1) Dualisme Peradilan (khususnya dalam masalah waris) hanya akan membengkakkan waktu dan biaya, (2) hukum waris Islam belum menjadi adat, (3) Peradilan Agama tidak tumbuh dari rakyat, tetapi dari lingkungan raja-raja feodal, dan (4) dilihat dari cara waris mewaris yang dilaksanakan oleh rakyat, keputusan Pengadilan Agama terasa asing (Departemen Agama, 2001: 15). Dengan alasan-alasan itulah kemudian keluar Staatsblad 1937 No. 116 yang berlaku mulai 1 April 1937. Dalam Staatsblad ini, pemerintah kolonial mencabut kompetensi Pengadilan Agama dalam menangani waris dan dipindahkan ke Pengadilan Negeri. Dengan demikian, pergumulan dua teori politik hukum Receptie versus Receptio in Complexu dimenangkan oleh Receptie Theory.

Dengan pencabutan, praktis wewenang Pengadilan Agama terbatas pada persoalan-persoalan perkawinan. Itu pun masih dibatasi pemberlakuannya, yakni sebatas pada pribumi saja. Pengadilan Agama tidak menangani perkara perkawinan orang Eropa atau Cina meskipun mereka beragama Islam. Mereka ini harus menganut BW. Perkawinan campuran juga bukan menjadi wewenang Pengadilan Agama, demikian pula suami-isteri yang sebelumnya bukan Islam tetapi setelah perkawinan mereka masuk Islam. Pengadilan Agama juga tidak diberi hak penyelesaian sengketa harta benda sebagai akibat perkawinan, meskipun antar orang Islam pribumi. Termasuk dalam persoalan harta benda ini adalah benda-benda wakaf seperti masjid, tanah, mushalla, madrasah dan sebagainya.

Ketentuan hukum di atas tidak dapat menjaga stabilitas, tetapi sebaliknya semakin memperburuk situasi politik. Pemberangusan Indische Partij pimpinan Douwes Dekker dan Sarekat Islam adalah refleksi dari gejolak politik yang terus memanas. Sebagai kekuatan politik, Belanda tidak hanya berhadapan dengan kekuatan-kekuatan dari dalam dirinya sendiri, khususnya aliran jurisprudensi kodifikasi. Sebelum aliran hukum adat, tetapi juga kalangan Islam. Memang betul bahwa dalam pencabutan wewenang itu ada persoalan ekonomi – sebagaimana dituduhkan oleh pendukung hukum Adat, tetapi yang lebih penting, bagi kalangan Islam, adalah persoalan ruhaniah dan batiniah. Tidak seperti hukum Barat, bagi Islam persoalan waris adalah tidak semata-mata persoalan sosial keduniaan, tetapi adalah persoalan ibadah. Bagi kalangan politisi pemberlakuan staatsblad tersebut berarti sama dengan penghancuran sistem sosial Islam yang sudah lama sekali dibangun. Belum lagi persoalan pemberlakuan BW dan Ordonansi Nikah Indonesia Kristen, Jawa, Minahasa, dan Ambon (Stb. 1933 No. 74) atau HOCI (Huwelijk Ordonantie voor Christen Indonesiers) yang masih tetap berlaku terhadap mereka yang telah masuk Islam. Atas dasar apa ordonansi Kristen itu diakui keberlakuannya padahal belum diresepsi menjadi hukum Adat? Sementara itu, BW sendiri secara moral adalah Kristen. Inilah yang kemudian menghantarkan ke pemikiran di kalangan Islam bahwa untuk mem-Belandakan rakyat Indonesia, maka mereka harus dikristenkan.

Reaksi terhadap munculnya Staatsblad 1937 No. 116 dari kalangan Islam adalah berdirinya organisasi profesi hakim Peradilan Agama tempo dulu yang disebut Perhimpunan Penghulu dan Pegawainya (PPDP) di Solo 16 Mei 1937. Organisasi ini merupakan cikal bakal berdirinya organisasi profesi hakim IKAHA (Ikatan Hakim Peradilan Agama) pada tahun 1977. Keberatan kalangan PPDP ini lebih berkisar pada persoalan teknis hukum. Bagi mereka penerapan hukum adat adalah sesuatu yang mengandung kemusykilan yang sulit untuk dipertahankan. Dengan penerapan hukum adat, umat Islam tidak dapat lagi menggunakan hukum Islam manakala terdapat sengketa waris di antara mereka. Mengutip Kyai Adnan dari PPDP yang Zaken. Pernah ada kasus sengketa waris di Solo. Pada tingkat bandingan pada Kamar Tiga (Adat) Raad van Justitie di Batavia. Kasus itu diselesaikan dengan hukum Adat yang ternyata berasal dari hukum Adat Blambangan, sebuah kerajaan yang kuno yang sudah tidak dapat lagi ditemukan sisa-sisanya. Pijper yang menerima penjelasan dari Kyai Adnan itu, kaget terhadap keganjilan ini. Adnan terus melakukan advokasinya dengan mempertanyakan mengapa tidak menggunakan adat yang jelas saja seperti Adat Demak, Mataram, atau Keraton Surakarta. Usaha Advokasi ini gagal, dan Staatsblad 1937 No. 116 tetap berjalan hingga tahun 1989. Untuk selanjutnya manakala terdapat pertentangan atau konflik antara hukum Islam dan hukum Adat, pemerintah kolonial selalu mendukung adat.

Perlu ditekankan bahwa sampai pada tahun 1989 teori resepsi yang berjalan adalah teori resepsi yang dipahami oleh para pendukung hukum adat seperti Van Vollenhoven, Ter Haar, dan Soepomo, dan sebaliknya bukan teori resepsi adalah penolakan dan penegasian yang tegas terhadap hukum Islam. Lebih jauh mereka melihat bahwa hukum Islam bukanlah hukum. Sementara Snouck melihat bahwa hukum Islam adalah hukum. Hanya saja hukum Islam baru bisa berlaku kalau sudah diterima dan menjadi bagian hidup sehari-hari (as it bukan as ought to be). Kalau itu sudah diterima maka tidak bisa lagi disebut hukum Islam tetapi disebut hukum Adat (yang bersumber dari Islam).[20]

Pada Masa penjajahan Jepang

Pada zaman Jepang, posisi Pengadilan Agama tetap tidak berubah kecuali terdapat perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru itu didasarkan pada aturan peralihan Pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 Maret 1942 No.1 Pada tanggal 29 April 1942, Pemerintah Balatentara Dai Nippon mengeluarkan Undang-undang No. 14 tahun 1942 yang berisi pembentukan Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara). Dalam pasal 3 Undang-undang ini disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari:

  1. Tiho Hooin (Pengadilan Negeri)
  2. Keizai Hooin (Hakim Polisi)
  3. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
  4. Kaikioo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi)
  5. Sooryo Hooin (Raad Agama) (Depag R.I, 2001: 18).

Undang-undang No. 14 tahun 1942 tidak sempat berjalan karena Jepang segera menyerah pada sekutu, dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan menyerahnya Jepang dan Proklamasi kemerdekaan, para pemimpin lebih sibuk mempersiapkan diri untuk mengisi kemerdekaan. Peradilan Agama untuk sementara berjalan seperti sedia kala. Meskipun secara keseluruhan kebijakan Jepang secara umum tidak merugikan baik posisi Peradilan Agama dan hukum Islam, hal ini bukan berarti tidak terjadi pergumulan politik yang intens. Misalnya, pemerintah militer Jepang tetap mengizinkan beroperasinya Peradilan Agama dan berlakunya hukum Islam, dan mengizinkan berdirinya sebuah organisasi Islam, Masyumi. Organisasi ini belakangan berubah menjadi partai Islam, terutama pada masa-masa awal revolusi. Absennya campur tangan pemerintah militer Jepang ini tentu saja merupakan satu kesempatan bagus bagi kalangan pemimpin Islam untuk melakukan kembali konsolidasi kekuatan yang telah porak-poranda di bawah administrasi Belanda. Pada saat yang sama, pihak Jepang sendiri berusaha untuk memantapkan kedudukannya di Indonesia dengan mengambil hati rakyat Indonesia. Ini dicapai dengan, misalnya, meminimalkan campur tangan mereka dalam urusan-urusan rakyat Indonesia.

Sebagaimana pada umumnya yang terjadi dalam suatu kekuatan politik baru, pemerintah militer Jepang didekati berbagai unsur khususnya kalangan Islam untuk merestorasi hak-hak mereka yang pernah hilang. Pendekatan yang dilakukan oleh kalangan Islam mendatangkan sikap galau di kalangan nasionalis “priyayi”. Salah satu pendekatan yang dilakukan oleh kalangan Islam adalah tuntutan kembalinya wewenang masalah waris ke Pengadilan Agama, bahkan sampai pada pembentukan negara Islam – yang ditentang oleh banyak orang termasuk kalangan Islam nasionalis seperti Hatta, lebih-lebih pendukung adat seperti Soepomo. Bahkan perdebatan sengit yang terjadi adalah perlu tidaknya pemisahan antara negara dan agama. Soepomo yang aktif di Sanyo-sanyo Kaigi Jimushitsu (Dewan Pertimbangan Agung) memberikan pertimbangan kepada dewan Sanyo untuk menghapuskan Pengadilan Agama. Pengaruh Soepomo dan kalangan Islam nasionalis dalam dewan ini tampaknya terlalu kuat dibanding dengan kalangan Islam. Kekuatan itu terefleksi dari rekomendasi yang diberikan kepada Pemerintah Balatentara Jepang. Rekomendasi tersebut tidak saja berisi pemisahan antara urusan agama dari negara, tetapi juga penghapusan sama sekali Pengadilan Agama.

Hanya saja, sebagaimana dikemukakan di atas, rekomendasi yang sudah diakomodir dalam Undang-undang No. 14 tahun 1942 ini tidak dapat berjalan karena tampaknya seluruh energi dipusatkan untuk persiapan kemerdekaan Indonesia, ditambah dengan menyerahnya Jepang pada sekutu. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh Soekarno. Sama dengan golongan nasionalis yang lain, Soekarno cenderung menjadikan agama bukan sebagai urusan negara. Malahan dia menantang golongan Islam untuk membuktikan bahwa gagasan mereka merupakan cerminan dari keinginan umat Islam pada umumnya. Soekarno sebenarnya bermaksud menerangkan bahwa jika Islam ingin tampil, itu harus dicapai melalui perjuangan politik yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat.

Mendekati bulan Agustus 1945, dalam suatu sidang BPUPKI yang akan merancang konstitusi negara terjadi perdebatan sengit antara golongan Islam yang menghendaki agar negara Indonesia merdeka nantinya berdasarkan Islam di satu sisi, dan golongan nasionalis kebangsaan yang menghendaki adanya pemisahan antara agama dan negara pada sisi lain. Karena tampaknya tidak memungkinkan diperoleh kemenangan di satu pihak, maka perdebatan itu berakhir dengan kompromi, tawar menawar. Dalam kompromi itu disepakati bahwa Indonesia merdeka tidak akan menjadi negara Islam, meski tidak pula akan terjadi pemisahan antara urusan agama dan negara. Seluruh anggota sidang menyepakati formula ini. Dari golongan Kristen seperti Maramis, Latuharhary dan P.F. Dahler memberikan persetujuannya. Demikian pula dari golongan Budha/ Kong Hu Cu seperti Liem Koe Hian, Tan Eng Hoa, Oei Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw. Ki Hajar Dewantoro dan Mr. Singgih yang merupakan golongan penghayat kebatinan juga setuju (Mahendra, 1998). Naskah kompromi tersebut belakangan dikenal dengan nama Piagam Jakarta.

Pada kenyataannya, kompromi itu masih menyisakan persoalan bagi mereka yang menanamkan dirinya golongan Kristen dari Indonesia Timur. Mereka menuntut agar tujuh kata yang terdapat dalam pembukaan piagam tersebut supaya dihapus sebagai prasyarat keikutsertaan mereka dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketujuh kata itu adalah.... ”dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Pesan dari golongan Kristen Indonesia Timur itu disampaikan oleh seorang Kaigun kepada Hatta. Sehari sebelum sidang PPKI dibuka, Hatta melakukan lobying kepada Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Mr. Teuku M. Hasan, dan K.H. Wahid Hasyim. Hasil dari lobbi itu adalah bahwa mereka merelakan dihapuskannya ketujuh kata itu, demi mencegah golongan Kristen dari Indonesia Timur itu mendirikan negara sendiri. Sedangkan format terbaru dari sila pertama itu berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” .

Dengan demikian, sebagai konsekuensi dari perkembangan politik di atas, maka sampai pada kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 tidak ada perubahan pada Pengadilan Agama, dan hukum Islam. Hal-hal yang berkait dengannya masih tetap dinyatakan berlaku selama belum ada penggantinya. (Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945).[21]

Penutup

Islam sudah masuk ke Indonesia jauh sebelum para penjajah dari Eropa datang. Islam menjadi agama sebagian besar penduduk Indonesia. Hukum Islam sedikit banyak diterapkan oleh umat Islam Indonesia, setidaknya ini terbukti dengan adanya peran kiai atu penghulu sebagai pemutus perkara dalam masyarakat. setelah para imperialis Eropa masuk ke nusantara, kehadiran mereka sedikit banyak berpengaruh terhadap penerapan hukum Islam di Indonesia. Kebiajakan kolonial yang ingin meng-Eropa-kan nusantara dengan penkodifikasian hukum di Hindia tentu saja berpengaruh terhadap perkembangan hukum Islam. sehingga wajar banyak pemberontakan yang terjadi yang dilakukan oleh pnduduk pribumi. Pemberontakan ini adalah protes karena penjajah ingin mengubah hukum Islam. tetapi bagaimanapun, politik Belanda sebagai pihak yang berkuasa sedikit banyak telah berhasil mengubah wajah hukum di Indonesia. Dimana hukum Eropa mulai mendominasi tata hukum di Indonesia.

Bibliografi

Ahmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2006

J.B. Daliyo, pengantar Hukum Islam, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1997.

Zaini Ahmad Noeh & Abdul Basit Adnan,Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1983.

Soekanto, Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1996.

Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, LKiS, Yogyakarta. 2001.

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta.1996. 218

Soetandyo Wigjosoebroto.Dari Hukum Kolonila ke Hukum Nasional. Raja Grafindo. Jakarta.1995.


[1] Ahmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2006.h. 64

[2] J.B. Daliyo, pengantar Hukum Islam, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1997. 14

[3][3] Ahmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2006.h. 65

[4] Zaini Ahmad Noeh & Abdul Basit Adnan,Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1983. h. 31

[5]Gunaryo, Pergumulan. Opcit

[6] Ibid

[7]Zaini, sejarah Singkat.Opcit. h. 32

[8]Gunaryo, Pergumulan. Opcit.h.74

[9] Soekanto, Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1996. 53

[10] Gunaryo, Pergumulan.h. 76

[11]Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, LKiS, Yogyakarta. 2001. 83

[12] Gunaryo, Pergumulan.h. 77

[13] Ibid. h. 78

[14] Ibid. 79

[15]Ibid. h. 80

[16] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta.1996. 218

[17] Gunaryo, Pergumulan.h. 83

[18] Gunaryo, Pergumulan.h. 84

[19] Soetandyo Wigjosoebroto.Dari Hukum Kolonila ke Hukum Nasional. Raja Grafindo. Jakarta.1995. 10

[20] Gunaryo, Pergumulan.h. 96

[21] Gunaryo, Pergumulan.h. 96-102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo, akrab kan diri mu.........