Senin, 19 Januari 2009

FUNGSI DAN KEDUDUKAN AS-SUNNAH TERHADAP AL-QUR'AN

A. Kedudukan As-Sunnah Jumhur ulama menyatakan bahwa as-sunnah memiliki kedudukan ke-2 setelah al-Qur'an. Dalam hal ini Al-Suyuti dan Al-Qasimi memberikan sebuah pemikiran yang rasional dan tekstual. Adapun argumen tersebut ialah: 1. Al-Qur'an memiliki sifat qath’i al-wurud, sedang as-sunnah bersifat zhanni al-wurud. Oleh sebab itu yang bersifat qath’i harus didahulukan. 2. As-sunnah memiliki peran sebagai penjabaran al-Qur'an. Ini harus dipahami bahwa yang menjelaskan (as-sunnah) berkedudukan setingkat di bawah yang menjelaskan (al-Qur'an). 3. Adanya beberapa hadits dan atsar yang memberikan keterangan tentang urutan dan kedudukan as-sunnah setelah al-Qur'an hal ini bisa dilihat dari dialog antara Nabi dengan Mu’az bin Jabal yang waktu itu diutus ke negeri Yaman sebagai Qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara?”. Mu’az menjawab, “Dengan Kitab Allah”. Jika tidak adanya nashnya, maka dengan sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada ketentuan dalam sunnah maka dengan berijtihad. 4. Al-Qur'an berasal dari Allah sedang sunnah/hadits berasal dari hamba dan utusannya, maka selayaknya segala sesuatu yang berasal dari Allah itu lebih tinggi kedudukannya dibanding sesuatu yang berasal dari hamba-Nya. Selain argumen di atas al-Qur'an dan as-sunnah sendiri menyatakan bahwa kedudukan as-sunnah memang berada di nomor kedua setelah al-Qur'an. Hal itu bisa ditemui dalam surat an-Nisa’ ayat 59: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Dan dalam ayat 80: مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا (٨٠) Artinya: “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. Selanjutnya dalam hadits Nabi ditegaskan: تركت فيكم امرين ماان تمسكتم بهما لن تضلوا ابد اكتاب الله وسنة رسوله.(رواه ابوداود) Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara atau pusaka, selama kalian berpegang kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Qur’an) dan sunnah rasul-Nya (HR. Abu Daud) Terlepas dari berbagai alasan atau dalil yang menunjukkan bahwa kedudukan as-sunnah menempati posisi kedua setelah al-Qur’an banyak ayat-ayat yang tidak dapat dijelaskan, dan itu bisa ditemui dalam penjelasan-penjelasan yang ada di dalam as-sunnah. Penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah SAW terhadap maksud ayat-ayat tersebut sesuai dengan perintah yang diberikan Allah SWT kepada beliau: Sebagaimana dalam surat an-Nahl ayat 44: وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (٤٤) Artinya: dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, Dan dalam surat Ali Imran 164: لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (١٦٤) Artinya : Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. B. Fungsi As-Sunnah Terhadap Al-Qur’an Menetapkan hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an bertujuan untuk menunjukkan bahwa masalah-masalah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan as-sunnah itu sangat penting untuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh setiap muslim. Menempati posisi kedua setelah al-Qur’an, as-sunnah memiliki fungsi sebagai bayan atau penafsir yang dapat mengungkapkan tujuan dari al-Qur’an. Adapun penjelasan-penjelasan as-sunnah terhadap al-Qur’an diantaranya: 1. Bayan tafshil Yang dimaksud bayan tafshil ialah, bahwa as-sunnah itu menjelaskan atau memperinci ke-mujmal-an al-Qur’an, karena al-Qur’an bersifat mujmal (global) maka agar dia dapat berfungsi kapan saj adan dalam keadaan apa saja diperlukan perincian, dari situ fungsi sunnah sangat diperlukan. Contoh fungsi as-sunnah sebagai bayan tafshil yaitu masalah perintah shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan haji dan qishash. Perintah untuk melakukan hal-hal di atas, secara gamblang dapat terdapat di dalam al-Qur’an. Namun teknik operasional dari hal-hal tersebut tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, akan tetapi didapati dalam as-sunnah. Dalam permasalahan shalat misalnya, wa aqimu shalat (dirikanlah shalat) merupakan perintah oleh Allah kepada manusia untuk melaksanakan shalat, bahkan menurut para ulama, kalimat tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan tetapi tata cara dan bilangan rakaatnya tidak diperjelas dalam al-Qur’an, oleh sebab itu muncullah hadits yang menjelaskan bagaimana pelaksanaan shalat, sebagaimana hadits: صلواكماء أيتموني اصلى ”Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat” Begitu pula hal-hal yang berkenaan dengan shalat, misalnya shalatnya orang yang muqim, bepergian, dalam keadaan perang, dalam keadaan sakit, maupun yang lainnya. Secara syarat, rukun serta praktek pelaksanaannya, semua dijelaskan oleh Rasulullah. 2. Bayan takhsish Selain bersifat umum mujmal (global), al-Qur’an juga memiliki ayat-ayat yang bersifat umum, dari sini fungsi as-sunnah yakni mengususkan. Perbedaannya dengan bayan tafshil ialah kalau bayan tafshil, sunnah berfungsi sebagai penjelas yang kelihatan tidak ada pertentangan, sedangkan pada bagian takhsish ini di samping as-sunnah sebagai bayan, juga antara al-Qur’an dan as-sunnah secara lahiriah nampak ada pertentangan. Contoh sunnah yang mentakhsishkan al-Qur’an: a) Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa setiap orang dihalalkan menikahi wanita-wanita bahkan juga berpoligami, tetapi dalam hadits dikatakan: لاتبمع بين المرأ وعمتها ولابين المرأة وخالتها (منفق عليه) ”Tidak boleh seorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ’ammeh (saudara bapaknya), dan seorang wanita dengan khalah (saudara ibu)nya”. Dan juga dalam hadits : ان الله حرم من الرضاعة ماحرم من النس. ”Sesungguhnya Allah mengharamkan mengawani seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”.(HR.Bukhori Muslim) Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an mengemukakan hukum atau aturan-aturan yang bersifat umum, yang kemudian dikhususkan dengan as-sunnah. b) Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa anak-anak dapat mewarisi orang tuanya dan keluarganya, hal itu berada dalam surat an-Nisa ayat 11: يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan. Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap anak berhak mendapat harta pusaka (ahli waris) dan bagian laki-laki dua kali bagian anak perempuan, kemudian ayat ini dikhususkan dengan sunnah yang berbunyi: لا يرث المسلم الكافرولاالكافرالمسلم. ”Seorang muslim tidak boleh mewarisi harta si kafir dan si kafir pun tidak boleh mewarisi harta si muslim”.(HR.Jama’ah) Begitu juga dalam hadits: لايرث القاتل من المقتول شيعا (رواه النساى) ”Seorang pembunuh tidak mewarisi harta orang yang dibunuh”. 3. Bayan ta’yin Definisi bayan ta’yin ialah bahwa as-sunnah berfungsi menentukan mana yang dimaksud diantara dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan oleh al-Qur’an. Seperti diketahui, dalam al-Qur’an banyak ayat atau lafal yang memiliki berbagai kemungkinan arti atau makna, oleh karena itu bayan ta’yin berperan dalam hal ini. Contoh dalam kasus ini, di dalam al-Qur’an dikatakan bahwa perempuan-perempuan yang dicerai menunggu masa iddahnya sampai tiga kali quru’. Lafal quru’ dalam ayat yang berbunyi: Ini mempunyai arti haid dan suci. Oleh karena itu, apakah yang dimaksud ayat tersebut adalah perempuan yang ditalak itu tiga kali atau tiga kali suci. Masih belum jelas keterangannya maka pada kasus ini, hadits berperan dalam menentukan waktu yang dimaksud oleh lafal quru’. Menurut asal lughah, makna harfiahnya, qur’un itu adalah waktu yang dibiasakan (al-waqt al-mu’tad) sedangkan dalam keterangan yang lain dikatakan bahwa yang dimaksud waktu yang dibiasakan itu tidak lain kecuali haid. Untuk menguatkan pendapat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a). Iddah itu diketahui dengan tidak adanya kehamilan di rahim, dan hal itu bisa diketahui dengan adanya haid. b). Di dalam al-Qur’an, tidak pernah disebutkan sesuatu dengan kalimat atau lafal yang dianggap tidak sopan, meskipun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah haid. c). Terdapat hadits yang menyebutkan bahwa iddah perempuan yang di talak itu dengan 3x haid. 4. Bayan nasakh Selain ketiga fungsi di atas, fungsi as-sunnah juga sebagai penjelas ayat yang menasakh (menghapus) dan mana yang dimansukh (dihapus) yang secara lahiriyah ayat-ayat tersebut. Bayan nasakh ini juga disebut bayan tabdil (pengganti suatu hukum atau menghapusnya). C. Menetapkan dan menentukan suatu hukum yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an. Segala tingkah laku manusia di dunia sudah diatur oleh Allah di dalam al-Qur’an, secara garis besar. Hal tersebut bisa dipahami dari wahyu Allah yang terakhir diturunkan kepada Nabi yakni surat al-Maidah ayat 3: Yang dimaksud sempurna dalam ayat tersebut adalah bahwa secara global segala masalah keagamaan sudah diungkapkan dalam al-Qur’an. Meskipun demikian Rasulullah dalam prakteknya memberikan penjelasan yang lebih jelas dan terperinci guna memberikan kemudahan umatnya dan menjalankan perintah agama. Contoh-contoh hukum yang ditetapkan as-sunnah antara lain, hukum haram memakan daging himar, daging binatang buas yang bertaring, dan haramnya laki-laki mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. DAFTAR PUSTAKA Abuddinnata, Al-Qur'an dan Hadits, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1996. Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: RAjawali Pers, 2006. Usman, Suparman, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

1 komentar:

ayo, akrab kan diri mu.........